Sabtu, 09 Agustus 2008

Media Pembelajaran

Pembuatan media pembelajaran memang hal yang sangat penting dalam pendidikan dewasa ini. benernyasih udah dari dulu juga penting. namun baru sekarang aja banyak dibicarain orang. Kalau kita sekarang nanya ke orang apa itu media pembelajaran, saya hampir yakin sebagain dri mereka akan emnjawab, animasi, power point, flash, alat lab, dll, pokoknya yang saya tidak bisa buat deh.
Pikiran macam ini seringkali bikin orang jadi nyerah sebelum berperang dalam ngurusinm media pembelajaran. banyak teman guru DUP (deket usia pensiun) saat saya tanya bilang tidak pernah bikin media saat ngajar, alasan mereka sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan teknologi. Wah kasihan nih para kakek guru kita, masak mereka ditinggal begitu saja.
Media pembelajaran adalah segala macam alat, bahan, dan lain-lain, yang membantu siswa dalam belajar. Jadi asal guru masuk kelas, sesungguhnya guru telah memakai media, minimal dirinya sendiri (apalagi kalau gurunya cantik, pasti medianya menarik, he he he).
Benernya media ngak musti harus ngerepotin. Penggunaan papan tulis, gerak tangan guru, dll, juga adalah media pembelajaran. Namun seperti katanya nenek penemu kuantum leaning, cara belajar kan ada tiga: lihat, denger, dan lakuin. Karena itu ada baiknya media pembelajaran yang digunakan oleh guru sedapat mungkin mengakomodasi semua potensi itu. Jadi media itu baiknya dapat dilihat, didengar, dsekaligus dikerjain. Eh kok pakek dikerjain segala, jadi ngeres nih.
Nah, saat ini tuh, yang bisa ngebuat media yang dapat didengerin, diliatin, ama dikerjain, salah satunya animasi komputer, maka jadilah komputer ngetop, dan si Bill Gate tambah kaya.
Hari ini ampek ini ajadah, moga esok saya bisa mikir lagi. good bay. Oh ya hampir lupa, kalau kebetulan ada yang mampir, tolong marahin saya ya, lama nih ngak ada yang ngemarahin (mama lagi puasa ngomel).

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Memerangi korupsi memang teramat sulit. Sekedar hukuman mati mungkin tidak akan cukup menyelesaikan masalah. Seperti pada kasus Narkoba, yang walaupun hukuman mati telah diterapkan, namun tetap saja kejahatan Narkoba kian hari kian marak. Ini disebabkan karena Narkoba merupakan penyakit mental, sejenis dengan korupsi. Selain itu, korupsi sebagian terbesar terjadi karena adanya kesempatan baru kemudian disusul dengan keinginan. Karena sifat ini, hukuman seberat apapun saya kira akan sulit menyelesaikan masalah Korupsi.

Namun bukan berarti tidak ada jalan. Dalam Mahabarata, disebutkan ada empat metode pendidikan dalam menanamkan kebaikan dalam diri manusia. Metode itu terdiri dari: Bheda, Sama, Dana, dan Dhanda.

Bheda

Bheda adalah mencoba untuk mengajari seseorang untuk menjadi lebih baik dengan membandingkannya dengan orang yang lebih unggul. Metode ini merupakan metode awal atau lebih dikenal dengan metode pencegahan dan pendidikan. Metode ini dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.

Secara langsung, dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan orang terkenal yang sudah dikenal oleh masyaraat sebagai orang sukses dan jauh dari korupsi. Orang yang menjadi ikon tersebut selanjutnya ditunjuk sebagai duta kampanye anti korupsi. Beberapa artis, macam Almarhun Crisye, Iwan Fals, atau Ebit G Ade dapat dipilih. Lebih baik lagi jika dapat menggunakan veteran perang kemerdekaan atau tokoh angaktan 40-an yang saat ini masih sehat.

Pada kondisi yang tidak memungkinkan, karena tidak ditemukannya tokoh yang memenuhi kriteria sukses dan bebas korupsi (baik artis, politisi, maupun pengsaha), methode Bheda dapat dilakukan secara tidak langsung. Maksudnya, penunjukkan ikon bebas korupsi dibebankan pada tokoh fiktif. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan tokoh fiktif macam Si Doel Anak Sekolahan yang anti suap saat memeriksa proposal proyek di kantornya.

Sama

Sama adalah mencoba untuk menyadarkan seseorang dari kekeliruan dengan menggunakan kata-kata yang halus. Metode ini juga masih termasuk dalam metode prefentif, yaitu usaha pencegahan dan pendidikan.

Dalam metode ini, tindakan kampanye anti korupsi tetap menjadi jalan utamanya. Namun kampanye dilakukan lebih mengkhusus dan lebih dalam program langsung, dibandingkan dengan pada metode Bheda. Jika pada mhetoda Bheda dilakukan dengan pencitraan tokoh ideal dan pempublikasiannya kepada masyarakat, sedangkan pada Sama telah dilakukan “semacam” program sosialisasi. Program sosialisasi ini dapat berupa penyisipan dalam kurikulum sekolah, seminar-seminar, talk show di TV, acara lomba tulisan anti Korupsi, dan berbagai kegiatan lain. Intinya kegiatan pada methoda ini adalah mengajak masyarakat agar mau menyempatkan diri untuk berpikir mengenai korupsi dengan berbagai ketidak benarannya.

Dana

Dana yang merupakan methode ketiga, adalah berusaha membuat orang menjadi baik dengan cara memberikan hadiah atau harta benda. Methode ini sesungguhnya kurang baik untuk diterapkan, karena agak kekanak-kanakan. Namun dalam dunia yang materialis macam ini, dalam batas tertentu methode ini dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Apalagi mengingat banyak pihak yang mengatakan korupsi terjadi karena di negeri ini pendapatan finansial seorang birokrat relatif rendah. Mereka memberi contoh, seorang kepala dinas yang membawahi 2000 orang dengan juga memiliki tanggung jawab kebijakan, hanya mendapat tunjangan 1 juta-an. Kalau di tempat lain, manajer selefel itu paling tidak mendapat gaji pokok saja 10 juta-an.

Padam massa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, beliau pernah mengeluarkan kebijakan menaikkan pendapatan semua personel birokrat. Mulai Pegawai IVE (dirjen) sampai pegawae IA (tukang kebun) dinaikkan gajinya. Salah satu alasan utama beliau saat itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, sehingga mengurangi keinginan korupsi.

Dalam beberapa sisi, pandangan ini dapat diterima. Karena dengan kesejahteraan yang lebih baik, para birokrat itu tidak akan lagi memikirkan cara lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selain dari gajinya.

Dhanda

Sebagai methode trakhir, Dhanda sesungguhnya adalah jalan yang tidak diharapkan untuk dilakukan. Namun jika tiga jalan prefentif di muka tidak dapat juga menyadarkan orang akan keburukan korupsi, dengan sangat terpaksa mesti ditempuh methoda Dhanda. Dhanda adalah cara menyadarkan orang akan kebaikan dengan mengenakan hukuman dan harus dilaksanakan ketika ketiganya telah gagal.

Berbagai bentuk hukuman dapat diberikan, sesuai dengan berat-tidaknya kesalahan yang dilakukan. Yang terpenting dalam pemberian hukuman adalah adanya kesadaran bahwa hukuman itu akan memberikan kesadaran dan dikemudian hari sang terhukum tidak lagi mengulangi kesalahannya.

Dalam kasus korupsi, pemberian hukuman yang berimbang adalah sebuah kewajiban jika perbuatan korupsi telah terjadi. Namun untuk pemberian hukuman mati rasanya agak sulit diterima. Kesulitan penerimaan penulis didasari atas pertimbangan:

  1. Siapa yang berwenang menentukan umur seseorang?
  2. Jika sudah mati, maka dimana ada efek kesadaran dan kesempatan memperbaiki diri?
  3. Sudahkah negara melakukan pendidikan dengan lengkap (Bheda, Sama, Dhana)?

Dengan pertimbangan itu, hidup penulis pikir hukuman seumur hidup adalah hukuman terberat yang dapat diberikan.

Lebih dari itu semua, perlu juga diingat pesan terakhir Bhisma pada Yudistira di akhir perang Baratayudha. Raja (negara) adalah ayah dari rakyat. Kadang ayah harus sedikit tega dalam menghukum, namun tetap mengingat bahwa mereka adalah anak-anak-nya.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Dampak UN

Hiruk-pikuk pelaksanaan ujian nasional (UN) telah usai dan tahun ajaran baru dimulai lagi pada pertengahan Juli ini. Tanpa upaya untuk mengkritik dan mengevaluasi kebijakan UN serta menindaklanjuti hasilnya, kita akan kehilangan momentum upaya perbaikan mutu pendidikan. Tahun depan, UN kembali menjadi peristiwa tahunan paling dramatis dalam dunia pendidikan, tanpa menyentuh esensi perbaikan dan pemerataan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan menyimak hasil UN 2008 untuk tingkat SMA/MA/SMK dan tingkat SMP/MTs/SMP terbuka, yang tahun ini angka ketidaklulusan secara nasional meningkat, paling tidak ada dua isu pokok yang patut dikritik, direnungkan, dan dipertanyakan. Pertama, masih perlukah kebijakan penyelenggaraan UN tetap dilaksanakan? Kedua, efektifkah hasil UN bagi upaya perencanaan peningkatan mutu pendidikan? Diperlukan kebijakan semua pihak yang terlibat dalam perumusan mutu pendidikan untuk kembali duduk bersama memikirkan langkah-langkah yang strategis dan adil dalam merumuskan solusi tentang UN ke depan.



Ketidakadilan proses dan hasil

Menurut BSNP, kelulusan UN siswa SMA/MA/SMK tahun ini turun 0,94% dari 93,34% menjadi 91,73%. Adapun kelulusan UN tingkat SMP/MTs/SMP terbuka turun 0,59% menjadi 92,75% (Kompas, 20/06/08). Kalau dikalkulasi, dari total peserta UN SLTA sebanyak 2,1 juta ditambah siswa SLTP sebanyak 3,3 juta siswa, total peserta UN sebanyak 5,4 juta siswa. Diperkirakan, siswa yang tidak lulus UN tahun ini sekitar 500 ribu siswa.

Memang dalam sistem tes apa pun pasti akan menimbulkan korban. Karena pada akhirnya tes akan menghasilkan kelompok yang lulus dan tidak lulus, the best and the rest, serta kelompok terpilih dan tidak terpilih. Sepanjang sistem itu dilaksanakan secara adil dan mengandung tujuan yang jelas, sistem seleksi itu menjadi hal yang bisa diterima sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Tetapi ketika sistem itu dijalankan dalam situasi dan kondisi yang tidak adil, akan menghasilkan berbagai bentuk ketidakadilan.

Ketika UN dijadikan alat penentu kelulusan siswa secara nasional dalam kondisi disparitas kualitas pendidikan yang masih menganga lebar adalah sebuah ketidakadilan. Disparitas kualitas masih ada, terjadi antara sekolah di daerah maju dan pinggiran, antara sekolah negeri dan swasta, antara sekolah di perkotaan dan daerah terpencil, serta antara sekolah yang maju dan terbelakang. Tentu saja hasil UN akan membawa dampak yang serius baik bagi siswa yang tidak lulus, guru maupun sekolah yang tingkat kelulusannya rendah. Beberapa dampak negatif sebagai hasil kebijakan UN yang dipaksakan di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, UN telah berlaku tidak adil terhadap siswa yang menjalani proses pendidikan di sekolah yang masih tertinggal, miskin sarana prasarana, ketiadaan guru yang profesional, proses belajar-mengajar seadanya, dan keterbatasan akses terhadap sumber belajar. Mereka dipaksa untuk bisa menghasilkan nilai yang sama dengan siswa dari sekolah yang sudah maju, fasilitas lengkap, guru memadai, dan punya akses yang luas terhadap resources. Input dan proses yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda pula. Siswa dengan latar belakang ekonomi keluarga kuat akan mampu membayar bimbingan belajar di luar sekolah dan mampu menyediakan buku serta bahan ajar yang memadai sehingga kemungkinan untuk lulus UN menjadi lebih besar. Sementara itu, siswa dari keluarga miskin akan mengalami kesulitan membayar bujet ekstra untuk bimbingan belajar di luar sekolah dan tidak mampu menyediakan buku dan bahan ajar lainnya. Karena itu, kemungkinan lulus menjadi lebih kecil.

Hasil UN telah mendiskriminasi siswa yang tidak lulus untuk masuk pada pendidikan yang bagus pada jenjang berikutnya. Siswa SLTA yang ikut jalur UNPK mengalami masalahnya sendiri, karena Perguruan Tinggi Negeri tidak bersedia menerima Ijazah persamaan paket C, demikian juga dengan siswa SLTP yang ikut jalur UNPK paket B mereka juga tidak bisa masuk sekolah SMA yang bagus. Disamping itu juga terjadi stigmatisasi siswa yang tidak lulus sebagai kelompok siswa yang gagal dan 'bodoh', mereka akan menangggung beban psikologis dan sosial yang cukup berat. Tidak mengherankan ketika hasil UN diumumkan, terjadi beberapa kasus bunuh diri di kalangan siswa yang tidak lulus (Suara Pembaharuan.com, 18/06/08, Riau Today, 08/07/08).

Kedua, UN telah berlaku tidak adil terhadap guru. Di satu sisi, guru adalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum pendidikan pada tingkat sekolah. Guru punya kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran dalam mencapai tujuan pendidikan. Di lain pihak, guru tidak dipercaya (distrust) untuk mengevaluasi anak didiknya sebagai hasil akhir pembelajaran. Hal itu akan membawa dampak pada guru. Guru akan lebih suka mengajarkan bagaimana anak lulus tes daripada meningkatkan kualitas pembelajaran. Tekanan menyebabkan guru hanya fokus pada bagian-bagian dari kurikulum yang diperkirakan membuat siswa lulus UN ketimbang pengembangan seluruh potensi anak sebagai capaian menyeluruh dari kurikulum. Dalam jangka panjang, hal itu mungkin akan meruntuhkan fondasi nilai-nilai pendidikan dan pembelajaran yang sesungguhnya dan teredusir menjadi sekadar drilling dan memorising.

Ketiga, hasil UN akan menyegregasi sekolah favorit dan sekolah terbelakang. Sekolah dengan tingkat kelulusan tinggi akan semakin maju karena semakin diminati orang tua siswa yang beramai-ramai menyekolahkan anaknya pada sekolah tersebut. Menjadi menarik ketika ada fenomena sekolah memasarkan sekolahnya dengan mengekspos tingginya capaian hasil UN sebagai daya tarik masuknya siswa baru. Sepertinya hasil UN telah dijadikan jaminan akan bagusnya kualitas pendidikan di sekolah tersebut. Sementara itu, sekolah yang tingkat kelulusannnya rendah akan menjadi semakin terbelakang dan tergilas. Di Jawa Timur, misalnya, sekolah yang tingkat kelulusannnya 0% diimbau untuk segera merger. Artinya, ada upaya yang sistemik terjadinya kanibalisasi antarlembaga sekolah. Padahal selama ini banyak sekolah dibangun atas partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk memajukan daerah masing-masing.

Keempat, UN telah menegasikan secara nyata perbedaan kultural (cultural differences) yang menjadi kekayaan lokal dan telah hadir dalam pembelajaran di kelas. Penyeragaman yang dipaksakan melalui UN akan mengembalikan proses pembelajaran yang sentralistik yang tidak mengakomodasi berbagai perbedaan nyata tiap-tiap daerah, budaya lokal, dan kondisi kultural setiap sekolah. Padahal perbedaan kultural merupakan hakikat kedirian bangsa Indonesia yang multikultur. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif adalah adanya pemahaman ragam budaya yang dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran yang mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas (Ahmad Baedowi, Media Indonesia, 07/07/08).

Hasil UN telah memperlihatkan adanya disparitas kualitas pendidikan yang masih lebar. Sebagai contoh, untuk tingkat SLTP di DKI Jakarta, tingkat kelulusannya mencapai 99,99% atau hanya 15 orang yang tidak lulus. Sementara itu, di NTT tingkat kelulusan hanya 46,36%. Untuk tingkat SLTA juga hampir sama. Disparitas kualitas terjadi sangat tajam, bahkan di beberapa daerah banyak SMA yang tingkat kelulusannya 0%. Di Sulteng, misalnya, ada sekitar 21 SMA yang tidak meluluskan siswanya sama sekali dalam UN.

Jika hasil UN itu dijadikan indikator untuk memotret kelemahan dalam praksis pendidikan, hasil UN bisa menjadi efektif dan sangat dibutuhkan untuk bahan perencanaan dalam mengambil kebijakan menyusun langkah-langkah strategis upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Dengan demikian, gap mutu yang masih terjadi selama ini bisa diperkecil.

Tampaknya, walaupun UN telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, hasil UN yang memberikan indikasi kondisi nyata pendidikan tidak banyak ditindaklanjuti. Nyatanya, sekolah yang lima tahun lalu terbelakang tetap saja semakin terpinggirkan dan tetap tidak mampu meluluskan siswanya dalam UN tahun ini. Kebijakan UN telah menimbulkan lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif. Sepatutnya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan pelaksanaan UN dengan mengevaluasi secara jujur dan jernih serta berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya. Akan lebih adil jika kewajiban pemerintah terlebih dahulu dilaksanakan dengan membenahi dulu kondisi real pendidikan dan mempersempit disparitas kualitas pendidikan yang ada sebelum memaksa siswa dan guru memenuhi kewajiban untuk mencapai nilai UN yang dikehendaki.

Perlukah Agama Ikut UN

Ketika membuka Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam di Jakarta beberapa hari lalu, Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan perlunya penambahan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah agar memberikan dampak positif bagi anak didik di masa datang. Selain itu, dalam beberapa diskusi di kalangan guru agama di sekolah, aspirasi untuk menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) juga mengemuka. Alasan yang dikemukakan antara lain mata pelajaran agama terkait langsung dengan tujuan pendidikan nasional seperti tertulis dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yaitu "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia..."

Alasan lainnya adalah upaya untuk meningkatkan apresiasi siswa dalam menekuni pelajaran agama yang selama ini sering kali dianggap sepele. Hal itu sejalan dengan keluhan para guru agama bahwa pelajaran agama bukan hanya kurang diminati, lebih dari itu perhatian yang dicurahkan siswa juga kecil. Dengan memasukkan mata pelajaran agama sebagai bagian dari UN, diasumsikan akan meningkatkan perhatian siswa. Akan tetapi, jangan terburu-buru dipahami bahwa siswa sekolah menyepelekan agama. Itu semata-mata karena siswa memandang sekolah bukan satu-satunya tempat belajar agama. Mereka dapat mempelajarinya di tempat lain, seperti di pengajian dan organisasi remaja masjid.

Dengan meng-UN-kan pelajaran agama, diharapkan akhlak mulia para siswa juga meningkat, baik sebagai basis bagi siswa dalam membangun perilaku sosial maupun sebagai benteng pengaruh buruk globalisasi. Hal itu sejalan dengan pandangan kalangan agamawan bahwa pendidikan agama selama ini kurang berpengaruh terhadap perilaku sosial siswa. Mereka membuktikan dengan menunjuk masih ditemukannya siswa yang terlibat dalam tawuran, gang, narkoba, dan sebagainya. Benarkah tujuan tersebut dapat dicapai dengan meng-UN-kan agama?



Sejarah berlanjut

Isu tentang pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib atau sukarela sesungguhnya telah mengemuka sejak awal kemerdekaan. Isu itu pertama kali muncul dalam rapat-rapat Panitia Penyelidik Pengadjaran (PPP). Panitia itu dibentuk pada 1946 di bawah pimpinan Ki Hadjar Dewantoro dengan sekretaris Soegarda Poerbakawatja. Anggota PPP berjumlah 52 orang yang terdiri dari wakil-wakil organisasi sosial-kemasyarakatan yang dikenal aktif dalam pendidikan. Salah satu isu yang menyulut diskusi panas di kalangan peserta waktu itu adalah soal kedudukan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Pertanyaan krusialnya adalah apakah pelajaran agama di sekolah umum bersifat wajib, menjadi syarat kenaikan kelas dan kelulusan, atau hanya menjadi mata pelajaran yang bersifat anjuran dan pilihan.

Terdapat dua pandangan yang berkembang waktu itu. Pertama antara lain disuarakan Prawoto Mangunsasmito, wakil kelompok Islam. Ia mengusulkan, "Peladjaran agama, terutama Islam, harus menjadi verplicht leervak (diwajibkan) untuk penganut-penganutnja." Kedua, disuarakan Sarmidi Mangunsarkoro, yang waktu itu duduk sebagai Menteri Pendidikan dan Pengadjaran. Ia menggarisbawahi pentingnya pendidikan agama di Indonesia, tetapi menolaknya sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Ia berargumen bahwa pendidikan agama akan lebih tepat diberikan di dalam lingkungan keagamaan yang baik dan diberikan oleh ulama atau pendeta (Dasar Pendidikan dan Pengdjaran, h 139-140).

Setiap wakil organisasi mengajukan argumen yang mendukung atau menolak salah satu pihak di atas. Bila dilihat dari jalan kompromi yang ditempuh, tampak bahwa kelompok pertama --yang ingin menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib-- kurang mendapatkan dukungan. Keputusan yang diambil berbunyi "[D]alam sekolah-sekolah Negeri diadakan peladjaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknja mengikuti mata peladjaran tersebut (Pasal 20, Ayat 1, UU No 12, 1954)." Sementara itu, materi dan guru agama diserahkan kepada Menteri Agama. Itu mengandung arti bahwa mata pelajaran agama bersifat voluntary dan tidak menentukan kenaikan kelas meskipun sekolah harus tetap menyelenggarakan pendidikan agama.

Kompromi yang dihasilkan tampaknya tidak memuaskan semua pihak. Barangkali karena itulah pada setiap momen diskusi tentang perumusan sistem pendidikan nasional pertanyaan apakah pelajaran agama di sekolah umum itu bersifat wajib, menjadi syarat kenaikan kelas dan kelulusan, atau hanya menjadi mata pelajaran yang bersifat anjuran dan bersifat pilihan masih terus-menerus disuarakan. Itu antara lain tampak dalam rapat-rapat perumusan UU No 2 1989 dan UU No 20, 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU terakhir, pendidikan agama mengalami perubahan besar jika dibandingkan dengan sebelumnya. Dikatakan, setiap siswa mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan pendidikan seagama (Bab V, Pasal 12, ayat 1). Dapat diperkirakan, rangkaian peristiwa tersebut menjadi latar belakang munculnya aspirasi memasukkan mata pelajaran agama dalam UN. Itu sekaligus pula menjustifikasi ucapan Ki Hadjar Dewantara, "Agama di dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit (1977)."



Formalisasi

UN, yang dilaksanakan sejak 2002/2003 masih menimbulkan diskusi hangat di kalangan ahli pendidikan. Sebagian menolaknya dengan berbagai alasan. Antara lain mereka memandang bahwa UN tidak sejalan dengan Pasal 58 ayat 1 UU No 20, 2003 yang berbunyi, "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan." Pasal itu jelas menyatakan kewenangan melakukan evaluasi hasil pendidikan terletak pada pendidik. Merekalah yang mengetahui secara keseluruhan dan secara berkesinambungan proses belajar-mengajar yang berlangsung di sebuah sekolah.

Lepas dari diskusi tentang UN yang tampaknya akan masih terus berlangsung, memasukkan pelajaran agama dalam UN bukan merupakan solusi. Beberapa pertimbangan dapat dikemukakan. Pertama, memasukkan pelajaran agama UN akan semakin menambah beban siswa. Kenyataan bahwa prestasi siswa dalam UN secara umum masih kurang, menambahkan mata pelajaran sama halnya dengan menambah beban siswa. Salah satu kritik yang dilontarkan para ahli pendidikan adalah terlalu gemuknya kurikulum pendidikan di Indonesia, misalnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah di luar negeri. Siswa Indonesia mempelajari kompetensi yang disyaratkan sesuai dengan jenjang pendidikannya, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, ilmu alam, ilmu sosial, dan kewarganegaraan. Itu pun masih ditambah pelajaran agama, dalam hal Islam seperti di madrasah, pelajaran agama bahkan mencakup ilmu Alquran, hadis, fikih, tarikh, akidah, dan akhlak.

Kedua, mata pelajaran agama di sekolah lebih menekankan aspek keyakinan dan etika daripada ilmu pengetahuan. Karena itu, yang harus menjadi perhatian para pendidik bukan pada akumulasi pengetahuan agama yang kemudian diujikan, melainkan lebih kepada penghayatan dan praktik beragama. Pelajaran agama harus diarahkan untuk membentuk kepribadian siswa agar sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di atas.

Ketiga, masih kelanjutan yang kedua, meng-UN-kan pelajaran agama akan mengajak siswa untuk memahami agama dari aspek formalisme semata-mata. Aspek penghayatan dan spiritualitas agama yang merupakan tujuan utama pendidikan agama akan semakin terkikis. Agama akan muncul sebagai pengetahuan belaka. Itulah barangkali yang mendorong kritik terhadap pendidikan agama bermunculan. Kyai Sahal Mahfudz, Ketua MUI dan Rais Am NU, misalnya, mengatakan pendidikan formal agama di sekolah gagal karena belum memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik (2003).

Keempat, rumusan standar kompetensi pelajaran agama —khususnya Islam— memang sangat komprehensif untuk tidak mengatakannya sangat idealis. Dikatakan, pelajaran agama diberikan "... dengan landasan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW, siswa beriman kepada Allah SWT, berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tecermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya Allah, sesama manusia, dan alam sekitar, mampu membaca dan memahami Alquran, mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar, serta mampu menjaga kerukunan intern dan antarumat beragama. (kurikulum 2004). Rumusan demikian justru membantu memberikan arah dan penjelasan bahwa pelajaran agama tidak dapat di-UN-kan.

Dengan demikian, yang dibutuhkan bukan meng-UN-kan pelajaran agama. Melainkan, mencari sebuah terobosan bagaimana menjadikan pelajaran agama sebagai interiorisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama, bukan malah memformalkannya. Tampaknya kita masih membutuhkan penelitian lanjutan tentang relasi dan pengaruh pelajaran agama dan perilaku siswa, termasuk memersepsi agama lain.



Oleh Arief Subhan

Dosen UIN Jakarta dan Peneliti INSEP