Ketika membuka Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam di Jakarta beberapa hari lalu, Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan perlunya penambahan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah agar memberikan dampak positif bagi anak didik di masa datang. Selain itu, dalam beberapa diskusi di kalangan guru agama di sekolah, aspirasi untuk menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) juga mengemuka. Alasan yang dikemukakan antara lain mata pelajaran agama terkait langsung dengan tujuan pendidikan nasional seperti tertulis dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yaitu "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia..."
Alasan lainnya adalah upaya untuk meningkatkan apresiasi siswa dalam menekuni pelajaran agama yang selama ini sering kali dianggap sepele. Hal itu sejalan dengan keluhan para guru agama bahwa pelajaran agama bukan hanya kurang diminati, lebih dari itu perhatian yang dicurahkan siswa juga kecil. Dengan memasukkan mata pelajaran agama sebagai bagian dari UN, diasumsikan akan meningkatkan perhatian siswa. Akan tetapi, jangan terburu-buru dipahami bahwa siswa sekolah menyepelekan agama. Itu semata-mata karena siswa memandang sekolah bukan satu-satunya tempat belajar agama. Mereka dapat mempelajarinya di tempat lain, seperti di pengajian dan organisasi remaja masjid.
Dengan meng-UN-kan pelajaran agama, diharapkan akhlak mulia para siswa juga meningkat, baik sebagai basis bagi siswa dalam membangun perilaku sosial maupun sebagai benteng pengaruh buruk globalisasi. Hal itu sejalan dengan pandangan kalangan agamawan bahwa pendidikan agama selama ini kurang berpengaruh terhadap perilaku sosial siswa. Mereka membuktikan dengan menunjuk masih ditemukannya siswa yang terlibat dalam tawuran, gang, narkoba, dan sebagainya. Benarkah tujuan tersebut dapat dicapai dengan meng-UN-kan agama?
Sejarah berlanjutIsu tentang pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib atau sukarela sesungguhnya telah mengemuka sejak awal kemerdekaan. Isu itu pertama kali muncul dalam rapat-rapat Panitia Penyelidik Pengadjaran (PPP). Panitia itu dibentuk pada 1946 di bawah pimpinan Ki Hadjar Dewantoro dengan sekretaris Soegarda Poerbakawatja. Anggota PPP berjumlah 52 orang yang terdiri dari wakil-wakil organisasi sosial-kemasyarakatan yang dikenal aktif dalam pendidikan. Salah satu isu yang menyulut diskusi panas di kalangan peserta waktu itu adalah soal kedudukan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Pertanyaan krusialnya adalah apakah pelajaran agama di sekolah umum bersifat wajib, menjadi syarat kenaikan kelas dan kelulusan, atau hanya menjadi mata pelajaran yang bersifat anjuran dan pilihan.
Terdapat dua pandangan yang berkembang waktu itu. Pertama antara lain disuarakan Prawoto Mangunsasmito, wakil kelompok Islam. Ia mengusulkan, "
Peladjaran agama, terutama Islam, harus menjadi
verplicht leervak (diwajibkan) untuk
penganut-penganutnja." Kedua, disuarakan Sarmidi Mangunsarkoro, yang waktu itu duduk sebagai Menteri Pendidikan dan Pengadjaran. Ia menggarisbawahi pentingnya pendidikan agama di Indonesia, tetapi menolaknya sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Ia berargumen bahwa pendidikan agama akan lebih tepat diberikan di dalam lingkungan keagamaan yang baik dan diberikan oleh ulama atau pendeta (
Dasar Pendidikan dan Pengdjaran, h 139-140).
Setiap wakil organisasi mengajukan argumen yang mendukung atau menolak salah satu pihak di atas. Bila dilihat dari jalan kompromi yang ditempuh, tampak bahwa kelompok pertama --yang ingin menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib-- kurang mendapatkan dukungan. Keputusan yang diambil berbunyi "[D]alam sekolah-sekolah Negeri diadakan
peladjaran agama, orang tua murid menetapkan apakah
anaknja mengikuti mata
peladjaran tersebut (Pasal 20, Ayat 1, UU No 12, 1954)." Sementara itu, materi dan guru agama diserahkan kepada Menteri Agama. Itu mengandung arti bahwa mata pelajaran agama bersifat
voluntary dan tidak menentukan kenaikan kelas meskipun sekolah harus tetap menyelenggarakan pendidikan agama.
Kompromi yang dihasilkan tampaknya tidak memuaskan semua pihak. Barangkali karena itulah pada setiap momen diskusi tentang perumusan sistem pendidikan nasional pertanyaan apakah pelajaran agama di sekolah umum itu bersifat wajib, menjadi syarat kenaikan kelas dan kelulusan, atau hanya menjadi mata pelajaran yang bersifat anjuran dan bersifat pilihan masih terus-menerus disuarakan. Itu antara lain tampak dalam rapat-rapat perumusan UU No 2 1989 dan UU No 20, 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU terakhir, pendidikan agama mengalami perubahan besar jika dibandingkan dengan sebelumnya. Dikatakan, setiap siswa mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan pendidikan seagama (Bab V, Pasal 12, ayat 1). Dapat diperkirakan, rangkaian peristiwa tersebut menjadi latar belakang munculnya aspirasi memasukkan mata pelajaran agama dalam UN. Itu sekaligus pula menjustifikasi ucapan Ki Hadjar Dewantara, "Agama di dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit (1977)."
Formalisasi UN, yang dilaksanakan sejak 2002/2003 masih menimbulkan diskusi hangat di kalangan ahli pendidikan. Sebagian menolaknya dengan berbagai alasan. Antara lain mereka memandang bahwa UN tidak sejalan dengan Pasal 58 ayat 1 UU No 20, 2003 yang berbunyi, "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan." Pasal itu jelas menyatakan kewenangan melakukan evaluasi hasil pendidikan terletak pada pendidik. Merekalah yang mengetahui secara keseluruhan dan secara berkesinambungan proses belajar-mengajar yang berlangsung di sebuah sekolah.
Lepas dari diskusi tentang UN yang tampaknya akan masih terus berlangsung, memasukkan pelajaran agama dalam UN bukan merupakan solusi. Beberapa pertimbangan dapat dikemukakan. Pertama, memasukkan pelajaran agama UN akan semakin menambah beban siswa. Kenyataan bahwa prestasi siswa dalam UN secara umum masih kurang, menambahkan mata pelajaran sama halnya dengan menambah beban siswa. Salah satu kritik yang dilontarkan para ahli pendidikan adalah terlalu gemuknya kurikulum pendidikan di Indonesia, misalnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah di luar negeri. Siswa Indonesia mempelajari kompetensi yang disyaratkan sesuai dengan jenjang pendidikannya, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, ilmu alam, ilmu sosial, dan kewarganegaraan. Itu pun masih ditambah pelajaran agama, dalam hal Islam seperti di madrasah, pelajaran agama bahkan mencakup ilmu Alquran, hadis, fikih, tarikh, akidah, dan akhlak.
Kedua, mata pelajaran agama di sekolah lebih menekankan aspek keyakinan dan etika daripada ilmu pengetahuan. Karena itu, yang harus menjadi perhatian para pendidik bukan pada akumulasi pengetahuan agama yang kemudian diujikan, melainkan lebih kepada penghayatan dan praktik beragama. Pelajaran agama harus diarahkan untuk membentuk kepribadian siswa agar sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di atas.
Ketiga, masih kelanjutan yang kedua, meng-UN-kan pelajaran agama akan mengajak siswa untuk memahami agama dari aspek formalisme semata-mata. Aspek penghayatan dan spiritualitas agama yang merupakan tujuan utama pendidikan agama akan semakin terkikis. Agama akan muncul sebagai pengetahuan belaka. Itulah barangkali yang mendorong kritik terhadap pendidikan agama bermunculan. Kyai Sahal Mahfudz, Ketua MUI dan Rais Am NU, misalnya, mengatakan pendidikan formal agama di sekolah gagal karena belum memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik (2003).
Keempat, rumusan standar kompetensi pelajaran agama —khususnya Islam— memang sangat komprehensif untuk tidak mengatakannya sangat idealis. Dikatakan, pelajaran agama diberikan "... dengan landasan Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW, siswa beriman kepada Allah SWT, berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tecermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya Allah, sesama manusia, dan alam sekitar, mampu membaca dan memahami Alquran, mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar, serta mampu menjaga kerukunan intern dan antarumat beragama. (kurikulum 2004). Rumusan demikian justru membantu memberikan arah dan penjelasan bahwa pelajaran agama tidak dapat di-UN-kan.
Dengan demikian, yang dibutuhkan bukan meng-UN-kan pelajaran agama. Melainkan, mencari sebuah terobosan bagaimana menjadikan pelajaran agama sebagai interiorisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama, bukan malah memformalkannya. Tampaknya kita masih membutuhkan penelitian lanjutan tentang relasi dan pengaruh pelajaran agama dan perilaku siswa, termasuk memersepsi agama lain.
Oleh Arief Subhan
Dosen UIN Jakarta dan Peneliti INSEP