Minggu, 13 Juli 2008

Pendidikan Anti Korupsi Membangun Bangsa yang Jujur, dan Percaya Diri, Melalui Proses Ujian Sekolah

Prof.DR.H.Buchari Alma *)

Usaha melaksanakan Pendidikan Antikorupsi belum berjalan maksimal. Perlu menemukan solusi membiasakan anak-anak generasi muda bangsa yang akan datang agar selalu berperilaku jujur. Karena perilaku jujur adalah modal dasar hidup bermasyarakat. Memang orang yang tidak jujur bisa juga berhasil hidupnya tapi hanya untuk sementara, setelah itu ia akan menderita

Upaya membiasakan berperilaku jujur dengan cara melatih anak-anak melalui kotak kejujuran dan kantin jujur di sekolah merupakan salah satu usaha yang baik dan diharapkan akan berhasil. Namun sampai dimana tingkat keberhasilannya belum jelas.

Fenomena yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia kita sulit mencari pegawai, kasir, partner bisnis bahkan mencari calon pemimpin yang jujur. Kalaupun ada pemimpin yang jujur, orang-orang sekelilingnya banyak yang tidak jujur sehingga menghambat kinerja sang pemimpin. Ada kasus calon pemimpin berijazah palsu, suatu bukti ketidakjujuran moral yang harus dihukum seberat-beratnya.

Kita sangat maju dalam praktek demokrasi tapi hanya dalam demokrasi prosedural untuk memilih presiden, gubernur, bupati, dsb. yang seringkali diikuti dengan perkelahian. Demokrasi dinegara kita belum mampu mengambil manfaat substansial dari demokrasi itu sendiri, karena kekurangan pengetahuan.

Lulusan sekolah pada tingkat apapun selalu ingin menjadi pegawai, tidak kreatif, malas baca dan kurang percaya diri.

Jika ada kesempatan/ peluang selalu ikut kelompok untuk korupsi, tidak mungkin menolak ajakan menyeleweng dari kelompoknya

Dunia pendidikan digunakan sebagai ajang promosi. Beberapa daerah berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui tingkat kelulusan 100 persen yang dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa cara yang tidak terpuji adalah sedikit melonggarkan pengawasan dalam ujian, jika perlu guru membantu membuat jawaban kemudian dibagikan kepada siswa yang sedang diuji (ini sudah rahasia umum).

Usaha-usaha yang tidak lazim diatas, menyebabkan proses pendidikan yang dilakukan selama ini, mengarah kepada pembentukan watak, perilaku lulusan sekolah akan menjadi koruptor, tidak disiplin, tidak jujur, tidak bertanggung jawab tidak percaya diri, dsb.

Salah satu usaha yang menurut penulis akan berhasil secara signifikan untuk mengubah perilaku bangsa Indonesia ialah melalui proses ujian sekolah yang bersih dan jujur mulai dari tingkat bawah (SD) sampai tingkat S1, S2, dan S3. Selama ini telah betahun-tahun negara kita melaksanakan ujian sekolah apa yang terjadi?

Persepsi terhadap dunia pendidikan kita dikatakan carut marut, kusut dengan berbagai persoalan yang tidak kunjung selesai. Para pakar selalu memikirkan bagaimana mengurai benang kusut ini, dari mana dimulai, simpul mana yang harus dibongkar? Depdiknas sudah berusaha melakukan perbaikan kurikulum, menatar guru-guru, membenahi distribusi buku, meninjau atau reevaluasi perbukuan, proyek perpustakaan, meningkatkan dana pendidikan, tapi semua ini belum membuahkan hasil yang diinginkan.

Seharusnyalah dunia pendidikan ini diserahkan kepada orang-orang yang ahli dibidangnya. Kita punya universitas pendidikan, fakultas pendidikan, sarjana pendidikan yang ahli dalam bidangnya, mereka harus terlibat dalam merumuskan pengelolaan pendidikan nasional. Serahkan segala urusan kepada ahlinya.

Tingkat produktivitas dunia pendidikan kita rendah, diukur dari berbagai aspek yang telah diungkapkan melalui berbagai survai dan penelitian. Proses belajar mengajar dalam lembaga pendidikan kita gagal, mendidik generasi muda bangsa menjadi generasi yang diidam-idamkan. Manusia tidak jujur dan korup lahir dari hasil pendidikan kita, setelah tamat mereka menjadi polisi, guru, dokter, sarjana hukum, sarjana teknik, pengusaha berbaur dengan lingkungan eksternal yang sudah rusak oleh generasi pendahulu.

Melihat perilaku nyontek dalam proses ujian adalah simpul yang amat strategis yang perlu dibasmi dalam proses ujian dunia pendidikan kita. Kita harus mengembangkan suatu budaya dilarang keras menyontek dalam ujian, dan harus diberikan sanksi berat dan tegas tidak pandang bulu.

Memperhatikan fenomena ujian yang dihadapi oleh murid-murid dari dari SD-SLTP-SLTA-PERGURUAN TINGGI S1-S2-S3- dan sebagainya selalu saja terbuka kesempatan, banyak peluang untuk nyontek. Murid sama murid nyontek, guru sama guru jika diuji juga nyontek, guru memberi kesempatan siswa nyontek, atau guru memberikan jawaban soal dalam ujian akhir nasional, siswa siswa-siswa S1, S2, S3 juga biasa nyontek.

Dimana-mana selalu nyontek. Kasus terakhir, kita baca, bahwa ada guru yang dilempari batu karena terlalu keras mengawas UAN, ini menyalahi prosedur dan kebiasaan yang berlaku. Selama ini pengawas harus pura-pura tidak tahu bahwa para siswa nyontek. Jadi harus ada toleransi dari pengawas dan ini sudah biasa.

Penulis pernah melakukan survei dan memberi angket kepada para mahasiswa sebanyak 55 orang, hasilnya sangat mengagetkan bahwa 100 persen mereka pernah nyontek dalam ujian. Lebih separoh diantaranya sering dan seringkali menyontek. Akibat dari nyontek ini sudah jelas akan muncul perilaku, atau watak, tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau membaca buku pelajaran tapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk bahan nyontek, potong kompas, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya menjadi koruptor. (*)

*) Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia , Bandung

Tidak ada komentar: